The Last Duel: Perjuangan Seorang Wanita dalam Dunia Patriarki

The Last Duel: Perjuangan Seorang Wanita dalam Dunia Patriarki

retroconference.org – The Last Duel: Perjuangan Seorang Wanita dalam Dunia Patriarki. Ketidakadilan gender telah menjadi permasalahan yang di wariskan dari generasi ke generasi. Salah satu kisah nyata yang mengungkap ketimpangan ini di adaptasi dalam film The Last Duel (2021), garapan Ridley Scott. Dengan latar abad ke-14 di Prancis, film ini menggambarkan perjuangan seorang wanita melawan sistem yang tidak memberinya suara. Narasi yang di bangun melalui tiga perspektif berbeda membuat penonton menyadari betapa kuatnya dominasi patriarki dalam sejarah.

Hegemoni Patriarki dalam The Last Duel

Gambaran Masyarakat yang Menekan Kaum Wanita

Pada era abad pertengahan, perempuan di hadapkan pada keterbatasan hak dan kebebasan. Dalam The Last Duel, Marguerite de Carrouges (Jodie Comer) menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan. Tuduhannya terhadap Jacques Le Gris (Adam Driver) atas kasus pemerkosaan menimbulkan kontroversi, bukan karena kebenarannya, tetapi karena masyarakat lebih percaya kepada pria di bandingkan perempuan.

Sistem hukum yang berlaku saat itu semakin menegaskan ketidakadilan. Seorang wanita tidak di anggap memiliki kesaksian yang valid tanpa dukungan suami atau saksi laki-laki lainnya. Marguerite harus menghadapi konsekuensi berat, termasuk ancaman kematian, hanya karena berbicara tentang kebenaran.

Tiga Perspektif, Satu Kebenaran

Film ini unik karena menyajikan tiga sudut pandang berbeda dari tokoh utama: Jean de Carrouges (Matt Damon), Jacques Le Gris, dan Marguerite de Carrouges.

  • Dari perspektif Jean de Carrouges, istrinya di anggap sebagai bagian dari harga di ri dan kehormatannya. Ia menuntut duel bukan untuk keadilan Marguerite, tetapi untuk mempertahankan martabatnya sebagai seorang ksatria.
  • Versi Jacques Le Gris menggambarkan di rinya sebagai pria yang di cintai Marguerite, meskipun jelas terlihat bagaimana ia menolak menerima kata “tidak”.
  • Melalui sudut pandang Marguerite, kebenaran terungkap. Ia hanya ingin mendapatkan keadilan bagi di rinya sendiri, bukan sebagai bagian dari ego suaminya.
Baca Juga:  Speak No Evil (2024): Pembaharuan Mencekam Penuh Misteri

Dari tiga perspektif tersebut, terlihat bagaimana patriarki bekerja, di mana kehormatan laki-laki lebih di utamakan daripada penderitaan seorang wanita.

The Last Duel: Perjuangan Seorang Wanita dalam Dunia Patriarki

Duel Sebagai Bukti Kebenaran

Pada era itu, kebenaran sering kali di tentukan melalui kekuatan fisik. Jika Jean de Carrouges menang dalam duel, itu berarti Marguerite berkata benar. Namun, jika ia kalah, Marguerite akan di eksekusi karena di anggap telah memberikan kesaksian palsu.

Sistem ini menunjukkan bahwa perempuan tidak memiliki wewenang untuk membela di ri. Nasib Marguerite sepenuhnya bergantung pada suaminya. Ketika keadilan harus di buktikan melalui pertumpahan darah, perempuan seperti Marguerite harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup mereka tidak lebih dari sekadar milik pria di sekitarnya.

Ketakutan dan Keberanian Marguerite

Di sepanjang film, Marguerite di gambarkan sebagai sosok yang berani meskipun di hadapkan pada ancaman besar. Ia tidak hanya melawan Jacques Le Gris tetapi juga menentang sistem yang meremehkan kesaksian perempuan.

Keputusannya untuk berbicara tentang pengalaman traumatisnya menunjukkan bahwa ia lebih peduli terhadap kebenaran daripada keselamatannya sendiri. Hal ini menegaskan bahwa perjuangan melawan patriarki sering kali membutuhkan pengorbanan besar.

Kesimpulan

The Last Duel bukan sekadar film sejarah, tetapi juga cerminan bagaimana sistem patriarki telah mengakar selama berabad-abad. Marguerite de Carrouges menjadi simbol keberanian bagi banyak wanita yang menghadapi ketidakadilan di berbagai era. Meski perjuangannya tidak mudah, suaranya tetap terdengar hingga kini, menginspirasi dunia untuk terus memperjuangkan kesetaraan.